Rambutku, Mahkotaku.

“Apa nggak kependekan, Mbak?”, tanya ayah dengan nada skeptis. Beliau memandangku, kedua alisnya mengerut seraya ia menatap rambutku yang baru dipangkas. Aku menatapnya balik. Kusisir-jari rambutku yang tebal dan tajam-tajam ujungnya. “Nggak. Pas, kok”.

Ayahku tetap memandang kepalaku seolah ada sesuatu yang nyangkut disitu. Aku pasrah saja. Dalam hatiku aku hanya bisa berdoa Bunda tak akan menyuruhku untuk memakai anting. Belakang kepalaku kugaruk-garuk dengan gelisah.

Hari itu mungkin salah satu hari bersejarah yang patut diingat dalam hidupku. Hari itu, 4 tahun yang lalu, untuk pertama kalinya rambutku dipotong pendek model anak cowok. Sebetulnya, saat umurku 3 tahun sudah pernah rambutku dipotong pendek gara-gara kutuan, meskipun tak sependek waktu kelas 4 yang tadi. Tapi itu cerita lain.

Masalahnya begini : aku selalu memakai baju cowok, bicara sperti cowok, mayoritas hal-hal kesukaanku adalah hal-hal yang disukai cowok. Belum termasuk rambutku yang baru dipotong pendek. Agaknya ayahku semakin tidak terima fakta bahwa putri sulungnya mempunyai hormon testosteron berlebih. Ia berbisik pada Bunda, “Kayaknya kependekan ini, Miska.”

Bundaku hanya tersenyum. “Nggak apa-apa lah, Yah. Biarkan dia bikin pilihan sendiri”. Bundaku tak pernah mempermasalahkan gayaku yang mirip lelaki, karena mungkin memang sudah dari sananya. Beliau hanya terus mengingatkan, bahwa aku adalah perempuan, wanita. Dan harus tetap berperilaku seperti seorang wanita.

Ayahku hanya bisa menghela napas. Sudah jelas ia tak begitu setuju, tapi nasi sudah jadi bubur. Aku terlanjur suka pada rambut baruku saat itu, dan sebagai bocah umur 9 tahun yang tak tahu apa-apa, aku mencamkan pada diriku sendiri bahwa aku harus selalu memakai baju yang pas dengan model rambutku. Itu namanya bukan sadar mode, tapi ambisi.

Sejak saat itu diriku yang dulu sering memakai baju-baju berwarna cerah, pelan-pelan hilang, digantikan sosok anak berbaju biru tua dan memakai topi yang diputar kebelakang. Benar, lho! Dulu kusayang benar topi itu, kupakai kemana-mana, bahkan ke mall. Warnanya merah, dengan logo Nike didepannya. Aku juga mulai suka membeli kaos-kaos gombrong berwarna gelap yang sering dijual di Departement Store.

Saat aku kembali ke sekolah hari Seninnya, seisi kelas bertanya, “Zahra potong rambut, ya?”. Bahkan guruku pun ikut tersenyum. Untung, waktu itu Bu Mut bilang aku kelihatan manis dengan rambut pendek. Aku sendiori juga merasa sangat nyaman. Kepalaku terasa sejuk, adem, seakan tanpa beban. Mengurusnya pun gampang. Bangun tidur, sisir jari sudah langsung rapih. Habis keramas, tinggal tinggal dihandukin sedikit langsung cepat kering. Hemat shampo pula. Enak, kan?
Kunikmati benar teman baruku ini dan, tentu saja, baju-baju cowok-ku itu kupakai semua. Ayahku tambah kesal, bersikeras untuk membelikanku satu saja busana cewek. Beliau memaksaku untuk membeli sandal berwarna krem, tapi kutolak. Modelnya tua, mirip sepatu tanteku kalau mau pergi kondangan. Pokoknya tidak terlalu bagus.

Pada suatu hari, keluargaku dan aku pergi jalan-jalan ke sebuah Mall. Aku lupa mall mana, tapi tak terlalu jauh dari rumah. Sehabis mandi, kuacak-acak rambutku sampai tiap ujungnya naik semua. Lalu kukenakan kaos army warna hijau butek dan sepasang celana jins, dan sepatu kets. Kutatap diriku didepan cermin. Kalau mau jujur, bila dibangdingkan tampangku agak mirip Sid Vicious, personel grup band Sex Pistols, meskipun wajah kami sama seklai tidak mirip.

Setelah hampir setengah jam menunggu ibuku berdandan, dan ayahku yang menolak berhenti menonton TV, akhirnya kita berngakat menggunakan mobil. Setibanya disana, kami makan siang, lalu kami melihat-lihat barang-barang yang bagus-bagus namun harganya jauh diatas batas kemampuan kami. Namun kami senang, dan aku serta adik-adikku membeli buku, masing-masing dua.

Beberapa saat berlalu, dan rupanya kandung kemihku sudah penuh dengan air seni. Setelah minta izin pergi ke toilet sendiri kepada Bunda, aku melesat ke toilet terdekat sambil menahan—nahan untuk tidak mengompol. Sesampainya di toilet tersebut, ternyata ada banyak orang yang menunggu giliran untuk pipis sehingga otomatis aku harus mengantri. Aku tak ingat berapa lama, yang kuingat waktu itu aku benar-benar kebelet.

Aku tak tahu bahwa sejak memasuk toilet itu semua mata memandang kearahku. Tadinya aku tak mengerti kenapa, namun lama-kelamaan tidak nyaman juga. Dan semakin tak nyaman saat seorang petugas mendatangiku, wajahnya kelihatan sedikit sebal.

Sampai sekarang aku tak pernah bisa melupakan kalimat yang diucapakan mbak-mbak toilet itu. Terukir dalam di otakku dan tak bisa kuhapus. Malangnya.

“Mas mas, disini toilet perempuan. Toilet laki-laki disana ya, mas”.

Aku terkesiap. Rasanya mau kabur saja. Malu banget! Ibu-ibu dan tante-tante, semua memandang sinis kearahku. Badanku serasa menciut. Tapi aku tak terima diusir. Kubalas saja mbak-mbak toilet itu dengan kesal.

“Saya ini cewek!”.

Kayaknya ibu-ibu dan tante-0tante yang ada di toilet itu, serta mbak-mbak toiletnya tak ada yang percaya. Merekas semua tetap memandangku, meskipun dengan agak berbdea. Dan mbak-mbak toilet itu hanya bisa melongo. Wajahku tambah merah.

“Oh…mbak cewek?”.

“Iya! Nih,” , kutunjukkan lubang telingaku yang beranting kecil, “ ada anting.”

Mbak-mbak itu mulai senyum-senyum malu. “Oh. Hehehe, maaf ya mbak, habis mirip cowok, sih…”.

Aku hanya bisa tersenyum masam. Saat salah satu pintu bilik terbuka, aku langsung berlari masuk kedalam. Langsung lega rasanya. Cepat-cepat kututup resleting celanaku dan melesat keluar. Aku bisa merasakan wajahku memanas. Tengsinnya masih kerasa.

Saat aku beritahu Bunda, beliau ngakak tak terkontrol. “Ya Allah, mbak Lalaaa…mbak Lala! Makanya, pake baju cewek!”. Aku pasrah saja ditertawakan. Salahku sendiri, terlalu ‘cowok’.
Ayahku juga ikut-ikutan menceramahiku begitu kita samapi di mobil. Sepanjang perjalanan aku habis digodai orang-tuaku yang memang super-iseng.

Aku tidak kapok. Sampai sekarang, gayaku masih sama. Cuma tambah berantakan. Dan sejak itu beberapa kali aku dikira cowok oleh orang tak dikenal. Dimana-mana : mall, toko batik di Solo, tempat les, bahkan di perkampungan terpencil tempat OSIS dan anak-anak kelas 7 dulu mengadakan LDK. Bahkan orang rumah sampai tanteku sampai memanggilku ‘cewek ganteng’. Bukannya aku mau sombong! Aku saja kadang agak risih dipanggil ganteng. Sama siapa saja. Kedengaran aneh….gimanaaa gitu.

Setelah sering dipanggil ‘cowok’ dan menjadi kebal, aku tetap tak tahan berambut panjang. Ketombe-ketombe yang menggerogoti kulit kepalaku telah membantuku untuk meyankinkan ayah supaya mau memperbolehkan aku potong rambut lagi. Lagipula, rambut pendek itu enak. Sekalian membantu keuangan keluarga. Harga shampo sekarang mahal, lho.
August 9th, 2009 at 03:00am