Status: Sebuah novel yang aku tulis 10 tahun lalu.

Estuary: The Star Lily Lake

BAB I Lauer House

"Hoah...!" sejak kapan aku tertidur di mobil? Ah, mungkin setelah dari bandara. "Ayah, sekarang kita sudah sampai mana?"tanyaku pada ayah yang sedang menyetir di depan.

"Kau sudah bangun? Ah, kita hampir sampai. Lihatlah keluar!"

Aku melihat keluar jendela mobil. Wow, kabutnya sangat tebal. Aku tidak pernah datang ke tempat dengan kabut setebal ini, mungkin sekarang masih pagi buta dan kota ini sangat terpencil -hingga aku lupa namanya-. Otakku mulai bekerja, memikirkan apa yang akan aku lakukan di kota kecil ini, setelah aku menemukan teman baru. Aku mulai bersemangat memikirkan banyak hal dengan duduk dekat jendela dan tak berhenti menatap pemandangan kabut.

Kabut yang menutupi tidak membuatku fokus pada pemandangan sepanjang perjalanan, aku hanya memikirkan apa yang akan aku lakukan setelah sampai. Lalu mobil berhenti, ayahku memarkirkan mobil di depan rumah yang tampak seperti sebuah rumah di dalam film horor. Rumah ini sangat ...., ah, aku memikirkan kata yang tepat, tapi rumah ini sangat mengagumkan. Cat rumah yang hampir terkelupas, dinding yang sudah ditutupi tanaman rambat hingga ke atap, halaman yang ditutupi ilalang setinggi pinggangku, aku rasa dulunya itu taman yang indah karena aku melihat beberapa bunga di antara ilalang itu, kemudian aku mendengar sebuah decitan keras dari pintu yang dibuka ayahku, mungkin jendela-jendela itu juga bisa menghasilkan suara lebih keras. Rumah yang kata ayah sudah ada sejak 1945-an itu membuatku ternganga dan mataku berbinar-binar, apa di dalamnya akan lebih menarik? pikirku dengan menyunggingkan senyum.

Saat memasuki rumah, kami disambut oleh dua wanita yang ditugaskan sebagai penjaga rumah ini. Mereka membntu kami membawakan barang bawaan yang cukup banyak. Dugaanku mereka adalah kakak beradik, tapi setelah mereka memberkenalkan diri mereka adalah ibu dan anak.

Si Ibu yang kupikir kakaknya itu sangat cantik dan terlihat masih muda. Wajahnya tampak ramah dan penuh kelembutan, tapi tatapan matanya sangat misterius, seakan menyatakan tidak semua orang diijinkan untuk mendekatinya. Rambut bewarna coklat yang lurus sangat cocok dengan pakaian pelayang bewarna hitam dan celemek putih yang sedang dipakainya. Meski penampilannya sederhana, tapi sangat menawan.

Sebaliknya, si anak yang sangat ceria menyambut kami dan terlihat tidak sabat menanti kedatangan kami. Wajah mungil yang selalu tersenyum memberikan warna dari mataku yang sejak tadi memandangi kabut. Emily adalah gadis kecil yang memiliki tingkah menarik di desa yang kurasa sedikit sekali anak seumuran kami. Sepertinya, kami akan bisa jadi teman akrab. Senyumku mengembang, aku punya teman untuk melakukan banyak kegiatan, pikirku.

Aku dan ayah mendapat kamar yang bersersebelahan di lantai dua. Setelah kami memsukkan barang kami ke kamar tanpa membereskan barang-barang, kami pergi ke dapur untuk mendapatkan sarapan. Makanan yang disediakan Mrs. Lauer sangat enak, berupa sup dengan kuah merah yang segar dan hangat, sepotong roti dan telur setengah matang kesukaanku. "Sup ini adalah makanan khas daerah ini, semoga kalian menikmatinya," kata Mrs. Lauer. Aku dan ayah mebalas dengan senyuman sambil melanjutkan sarapan. Ah, aku sangat lapar dengan perjalanan panjang dan dingin, juga disertaikabut itu.

Setelah sarapan, ayahku membantu Mrs Lauer membersihkan bekas sarapan kami. "Mungkin sangat berat mengurus rumah sebesar ini, apalagi rumah ini sudah tua dan butuh perawatan khusus, dan lagi kamu datang tiba-tiba menginap di tempat ini," ayahku memulai percakapannya di dapur. Aku ikut membantu juga sebelum Emily mengajakku berkeliling daerah sekitar dan ayahku mengijinkanku pergi.

"Mengapa kau pindah ke kota ini?" tanya Emily dengan wajah polosnya.

"Oh, aku hanya ikut ayahku saja, aku tidak begitu tahu," jawabku singkat.

"Katanya ayahmu datang untuk meneliti sejarah kota ini Apa benar? Ah, ayahmu terlihat sangat pemberani ya? -terlihat dari penampilannya yang tinggi dan tegas-. Padahal sudah banyak peneliti yang menyerah karena tak menemukan apapun."

Ternyata sikap Emily tak seperti penampilannya yang polos, dia anak yang sangat ingin tahu dan banyak bicara. Aku kaget dengan alur pembicaraannya yang mudah berubah, bhkan sebelum aku mejawab pertanyaannya.

Aku dan Emily berjalan melalui pintu belakaang di dapur yang menuju halaman belakang yang penuh dengan ilalang yang tingginya setinggi pundakku. Kami berjalan di jalan setapak di antara ilalang tersebut, dengan Emily di depanku sebagai pemandu terlihat sangat biasa melewatinya, jika aku melewatinya sendiri, mungkin aku akan tersesat. Akhirnya jalan itu menampakkan ujungnya, terlihat hamparan air yang sangat hitam. Air yang sangat hitam itu ternyata berasal dari danau yang cukup luas, tepi danau dimana kami berada juga cukup luas dengan hamparan rumput dengan bebatuan yang berbeda ukuran, di seberang danau tersebut ada hutan yang cukup gelap apalagi ditutupi kabut yang cukup tebal.

"Hey, Emily, mengapa danau ini terlihat sangat hitam?"tanyaku sangat penasaran.

Emily memasang wajah tersenyum, seakan-akan sudah menunggu pertanyaan tersebut dariku, dia mulai bercerita dengan mimik dan intonasi dramatisnya, ini membuatku sedikit geli. "Orang-orang dewasa sering menceritakan tentang legenda danau ini. Mereka mengatakan bahwa pada zaman dahulu, danau ini disihir oleh seorang penyihir hitam yang sangat jahat. Penyihir tersebut membuat para penduduk sangat ketakukan karena membuat hasil panen mereka gagal dengan menggunakan danau sebagai tempat tinggalnya. Konon penyihir tersebut melalukan eksperimen sihir di danau ini, padahal air di danau digunakan untuk mengairi perkebunan mereka."

Emily memberikan jede pada ceritanya, membuatku semakin penasaran, "Lalu?" aku rasa dia sengaja melakukannya karena dia tersenyum dengan mata bersinar, siap melanjutkan ceritanya.

"Suati hari, datanglah seorang penyihir lain. Penyihir tersebut menanam teratai di atas danau ini, teratai yang sangat banyak, hingga menutupi danau ini, semenjak itu, air danau dapat digunakan oleh penduduk lain. Dan penduduk tak pernah melihat lagi para penyihir tersebut."

Sebenarnya, aku ingin menanyakan banyak hal padanya, tapi belum sempat aku mengatakannya, Emily menyhut.

"Ah, karena itu, danau ini disebut Star Lily Lake. Kau tahu kenapa danau ini disebut Star Lily Lake?"

Aku hanya bisa menggeleng, dan bertanya "kenapa?" aku kagum dengan cara Emily meloncat pembicaraan satu ke lainnya dan membuatku bertanya sesuai dengan yang diinginkannya.

"Aku tidak akan mengatakannya padamu," jawabnya membuatku sedikit cemberut, tapi dia melanjutkan,"tapi, aku akan menunjukkannya padamu," senyumnya melebar karena bangga seperti seorang anak TK yang memiliki benda menarik yang ingin dipamerkan.

"Kapan kau akan menunjukkannya?" tanyaku karena tak sabar.

"Nanti malam." jawabnya pendek dengan senyum jahil.

Tanganku di tarik tanpa sempat aku bertanya 'apa boleh kita keluar malam', tapi dari senyum jahil itu dia menunjukkan bahwa dia sudah punya rencana. Kami bermain-main di sekitar danau, dia menunjukkanku beberapa tempat yang bagus buat memancing, sungai yang cocok untuk berenang, dan padang rumput yang cukup luas untuk piknik, tapi siapa yag ingin berpiknik di cuaca sedingin ini, pikirku.

Kegiatan berkelilig itu ternyata membuatku sangat capek. Saat makan siang Emily sudah menyiapkan sandwich dan air mineral di tas kecilnya. Lalu kami kembali bermain di padang rumput itu, aku rasa, aku akan menggugurkan pikiranku tentang 'tidak akan ada orang yang ingin berpikinik di tempat ini'. Sore menjelang gelap kita sampai di rumah dan langsung menuju dapur untuk makan malam, kemudian mandi dan aku langsung tertidur tanpa sempat mengeluarkan barangku dari koper. Aku terlalu capek.

Aku masih merasa hanya tertidur selama dua jam, tapi suara Emily yang lirih dan guncangan yang kurasakan membangunkanku. Aku membuka mataku dengan malas.

"Cheryl! Cheryl! Bagun!Ayo!" Bisiknya ditelingaku.

"Hmmm, baiklah." jawabku malas. Dan melihat ke arah jam yang menunjukkan jam 10 malam. "Ah, ini sudah jam 10, bagaimana kalau besok jam 7 malam saja?" tawarku padanya.

Sontak dia menolak,"Kau takkan melihat apapun di jam itu. Pada jam-jam ini adalah waktu yang tepat utuk memperlihatkan hal bagus padamu."

Dengan ditarik-tarik, aku bangun dengan adegan slow motion, Emily membantuku memakai pakaian hangat, dan menarik tanganku pelan, menuntunku melewati jalan setapak yang kami lewati tadi siang dengan senter kecil di tangan kanannya.

Lalu kami sampai di tepi danau tempat dia menceritaka legenda danau ini dan dengan cepat aku melebarkan mataku, tak lagi mengantuk.
♠ ♠ ♠
Terima Kasih sudah membaca